Laman

Rabu, 30 November 2011

SEPEDA ONTEL GAZELLE

Dalam komplek Rumah Joglo Kino Ning Peni terdapat sepeda ontel perempuan bermerek Gazelle. Sepeda ini pada roda bagian depan memiliki rem tromol, sedangkan pada bagian belakang terdapat rem terpedo di mana untuk memanfaatkan rem ini pedal dikayuh ke belakang, berlawanan dengan ketika sepeda dikayuh ke depan.

Sejarah Gazelle dimulai pada tahun 1892 ketika Willem Kolling yang bekerja sebagai agen kantor pos di Dieren, salah satu desa di Belanda, mengundurkan diri dari pekerjaannya. Kemudian dia memulai usaha dagang sepeda yang dipesannya dari Inggris. Usahanya ini berkembang pesat ketika dia memulai bekerjasama dengan Rudolf Arentzen seorang pengecer perangkat dari besi dan kompor yang juga berasal dari desa yang sama.

Iklan Sepeda Gazelle

Pada tahun 1902 Arenzen dan Kolling membangun pabrik sepeda, dan pada waktu itulah sepeda Gazelle mulai dipasarkan, tentunya di Belanda kemudian di negara Eropa lainnya. Sekalipun usahanya berkembang pesat, pada tahun 1905 Arenzen memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan yang didirikannya dan posisinya digantikan oleh saudaranya Hedrik Kolling.

Pada tahun 1915, keluargha Kolling dan kemenakan mereka Jan Breuking mengganti nama perusahaan menjadi N.V. Gazelle Rijwiefabriek v/h Arentzen en Koling. Pada saat itu perkembangan permintaan sepeda Gazelle dari luar negeri berkembang pesat, termasuk dari Indonesia yang ketika itu menjadi koloni Belanda.

Pada tahun 1930-1931, Gazelle memperkenalkan model kerangka silang 9X dan 8V. Berbagai variasi merek Invicta termasuk mrek Gelria diperkenalan dalam katalog Gazelle. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pada masa Perang Dunia II, pabrik Gazelle mengalami kerusakan hebat. Sesudahnya, pasca Perang Dunia II tepatnya pada bulan Agustus 1946, sepeda Gazelle kembali mulai dibuat. Pada tahun 1954, perusahaan gazelle berubah dari perusahaan pribadi berubah menjadi in-corporation dan pada saat itu diproduksi satu juta sepeda. Pada tahun 1963, Gazelle melakukan merger dengan Batavus dari Heerenveen, Belanda, namun tidak bertahan lama karena dua tahun kemudian keduanya berpisah kembali.

Pada tahun 1964, Gazelle merupakan perusahaan Belanda yang pertama memperkenalkan sepeda lipat (folding bike) yang dinamai kwiksteep. Sepeda ini dilipat pada sumbu horisontal di bawah siku-siku bawah (bootom bracket), tidak pada sumbu vertikal.Pada tahun 1966, Gazelle memperkenalkan sepeda model tandem moderen yang ringan sebanyak dua juta unit. Dua tahun kemudian, Gazelle mengambil alih merek Juncker, Simplex dan Locomotive serta merek moped terkenal Berini. Selain itu mulai diproduksi hub poros depan dengan rem tromol (drum-brake front hub) bermerek Gazelle sampai sekarang.

Pada tahun 1971, Gazelle diambil alih oleh Tube Investment (TI) dan namanya sekarang telah berubah menjadi Gazelle Rijwielfabriek B.V. sebuah perseroan terbatas (private limited company). Baru pada tahun 1987, TI menjual divisi sepeda miliknya kepada Derby Cycles Corp, perusahaan multinasional yang berkantor pusat di New York yang juga memiliki pabrik sepeda bermerek Raleigh, Sturney-Archer dan merek-merek Jerman yang terkenal, seperti Kalkhoff, Rixe, Winora dan Staiger.

Sampai sekarang, Gazelle masih merupakan salah satu dari sedikit perusahaan besar pembuat sepeda yang masih membuat sepeda sendiri sebagian besar rangka sepeda. Sampai sekarang Gazelle masih menjadi pemimpin industri sepeda Belanda.

Sepeda Gazelle dapat dilacak tahun pembuatannya dari daftar rangka yang disimpan di arsip Gazelle khususnya untuk periode pembuatan tahun 1916 - 1950. Sesudahnya, Gazelle menggunakan nomor langsung yang tertera di setiap sepeda sampai tahun 1974. Angka pertama mengacu angka terakhir tahun pembuatan. Semenjak tahun 1981, Gazelle menggunakan nomor rangka dengan tujuh angka. (Sumber: Theo Matthijs and Herbert kuner, 1999-2006, gilaontel.blogspot.com)

Senin, 21 November 2011

DEWI TARA

Di antara Rumah Joglo Kino ning Peni dan selasar terdapat kolam memanjang sepanjang kedua bangunan tersebut dengan lebar 0,8 meter. Di bagian kedua ujung kolam masing-masing terdapat patung batu Dewi Tara yang saling berhadapan dengan memegang kendi. Dari kendi-kendi tersebut mengalirlah air ke dalam kolam.

Dalam agama Hindhu, Tara (Sanskerta) adalah dewi yang kedua di antara sepuluh Mahawidya (Dewi Kebijakan). Menurut Tantra, ia merupakan penjelmaan dari Mahadewi, Kali dan Parwati.

Dalam agama Buddha, Tara atau Arya Tara (dikenal juga sebagai Jetsun Dolma dalam bahasa Tibet) adalah figur suci wanita Buddha (Boddhisattva) yang masih diamalkan dan dilestarikan sampai sekarang sebagai tantra Buddha dalam agama Buddha Tibet. Tara atau Dewi Tara merupakan lambang dari kebebasan atau kemerdekaan jiwa, dan menyatakan keberhasilan dan prestasi hidup yang sejati dan bersifat suci. Dewi Tara juga merupakan lambang dari belas kasih serta kehampaan (Sunyata, ketidakberadaan dan ketidakkekalan dunia) yang diajarkan dalam agama Buddha. (Wikipedia, bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Minggu, 20 November 2011

TENTARA TIONGKOK KUNO

Di bagian depan Gazebo Segi Enam di sebelah kiri dan kanan terdapat patung prajurit yang merupakan kerajinan terakota buatan Kasongan, Kasihan, Bantul. Patung ini merupakan replika dari "Tentara Terakota Tiongkok Kuno".

Pada tahun 1974 di Kabupaten Lintong Xi'an, ibukota Provinsi Shaanxi, seorang petani menemukan sebuah dinding bata untuk menyimpan sayuran. Kemudian dengan ragu-ragu, dia membuat lubang di dinding bata tersebut dan melalui lubang itu dia melihat barisan megah para prajurit terakota yang berdiri di sana. Petani tersebut terkejut dan ketakutan kemudian langsung cepat-cepat menutup kembali lubang tersebut dan melaporkan ke Dinas Arkeologi setempat. Selanjutnya pada tahun yang sama Tim Arkeologi yang dipimpin oleh Xu Welhong melakukan penggalian pertama kali dan menemukan patung tentara terakota yang berjumlah lebih dari 8.000 tentara, 130 kereta dengan 520 kuda dan 150 kuda kavaleri dengan ukuran asli tersusun di dalam tiga lubang. Patung-patung tentara tersebut tampak sedemikian hidup, masing-masing menampilkan sinar mata yang garang, dipadukan dengan cahaya matahari yang menembus lubang menjadikan pemandangan itu begitu sempurna. Lokasi penggalian itu berada di dekat makam Kaisar Qin Shihuang.

Patung-patung tersebut dibuat dengan cat warna cerah, namun tampak memudar warnanya karena telah berada di dalam tanah selama sekitar 2.000 tahun. Diperlukan waktu 10 hari untuk memulihkan setiap patung karena sebagian patung-patung tersebut diketemukan dalam keadaan pecah berkeping-keping. Tim Arkeologi juga menemukan tanda-tanda terbakar, diduga pada waktu yang lalu pernah terbakar atau dibakar oleh kelompok pemberontak, namun banyak isi kuburan itu selamat. Tentara terakota tersebut merupakan keajaiban seni budaya Tiongkok tahun 210 SM. (Berita Budaya China, The Epoch Times Indonesia)
Tim Arkeologi China juga menemukan berhasil menemukan 114 patung tentara terakota yang baru di kompleks makam dinasti Qin di Xi'an, di kaki Gunung Li Shan sebelah utara kota Xian, Provinsi Shannxi. Sebagian besar dari patung yang diketemukan dalam bentuk kepingan-kepingan yang berwarna cerah dan diletakkan berdampingan dengan pot, senjata dan benda-benda lain. (Tribun News.com)

Tentara terakota yang diketemukan, dahulu dimaksudkan untuk melindungi kaisar Chin Shihuang di alam baka dan diyakini bahwa tentara itu akan selalu mengikuti sang kasiar hingga kerajaan akhirat. Sang kaisar percaya bahwa kalau dia wafat, akan banyak musuhnya datang dan menyerangnya. Sehinga sang kaisar merasa perlu membawa pasukan untuk menemani dan menjaganya siang dan malam ketika ia wafat, bahkan tentara-tentara itu akan dipakai untuk menalukkan kerajaan-kerajaan lain yang ada di akhirat.

Selasa, 15 November 2011

DEWA GANESHA

Pada gapura komplek Rumah Joglo Kino Ning Peni di bagian depan sebelah kanan dan kiri pintu utama terdapat dua patung Ganesha, kerajinan terakota berasal dari Kasongan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Kedua patung tersebut sengaja diletakkan di gapura pintu masuk, untuk menandai para pengunjung masuk komplek Rumah Joglo Kino Ning Peni yang merupakan kawasan yang melindungi warisan budaya dan kehidupan orang-orang Jawa lama.

Ganesha berasal dari bahasa Sanskerta merupakan salah satu dewa terkenal dalam agama Hindhu dan banyak dipuja oleh umat Hindhu. Ganesha sebagai dewa memiliki gelar Dewa Pelindung, Dewa Penolak Bala/Bencana dan Dewa Kebijakan.


Ganesha dalam relief, patung, dan lukisan digambarkan sebagai mahluk yang berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ganesha dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka, dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan Ganesha disebut Bhatara Gana dan dianggap merupakan salah satu putra Bhatara Guru (Siwa). Sekalipun Ganesha dikenali memiliki banyak atribut, namun karena kepalanya yang berbentuk Gajah membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesha dikenal sebagai pengusir segala rintangan dan lebih umum dikenal sebagai Dewa di saat memulai pekerjaan dan Dewa segala rintangan (Wignesa, Wigneswara), pelindung seni dan ilmu pengetahuan, dan Dewa kecerdasan dan kebijakan. (Wikipedia, bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Minggu, 13 November 2011

LORO BLONYO

Di depan pintu utama Rumah Joglo Kino Ning Peni terdapat sepasang patung pengantin Loro Blonyo.

Loro Blonyo berasal dari bahasa Jawa, di mana loro berarti dua atau sepasang, sementara blonyo berarti dirias melalui prosesi pemandian dan didandani. Kepercayaan turun temurun tentang Loro Blonyo ini begitu dipercya akan membawa keberuntungan dan membuat kehidupan rumah tangga langgeng (Yogyes.com).
Patung Loro Blonyo adalah patung boneka penganten pada jaman Jawa kuno sebagai lambang keharmonisan, sehingga dipercaya membuat kehidupan rumah tangga kian harmonis. Menurut catatan sejarah, patung Loro Blonyo sudah ada sejak zaman kepemimpinan Sultan Agung di kerajaan Mataram pada tahun 1476.
Perwujudan Hinduisme di zaman Mataram Hindhu kemudian dimodifikasi agar lebih universal. Pada awalnya, pengantin perempuan dalam Loro Blonyo adalah  Dewi Sri atau dewi kesuburan dan kemakmuran. Melalui proses inkulturasi dalam ajaran Hindhu,  patung Dewi Sri menemukan pasangan idealnya dengan pengantin lelaki Dewa Wisnu, Di luar kepercayaan Hindu, Loro Blonyo disebut sebagai pasangan pengantin. (Nadeedja's Contempaltion, nsuri.multiply.com)
Sepasang pengantin Jawa dari Djogjakarta
Pada mulanya, kepemilikan patung Loro Blonyo berkaitan erat dengan kultur budaya. Di masa lalu, pada umumnya hanya kaum priyayi yang memiliki patung tersebut. Dalam rumah joglo kuno, patung Loro Blonyo diletakkan di sentong atau di bagian rumah tengah yaitu merupakan bagian yang dianggap sebagai wilayah pribadi suami dan istri. (JOGJA News Com, Art and Culture Story, July 24, 2009). Pada hakekatnya Loro Blonyo menjadi representasi empunya rumah, sehingga diletakkan di ruang tengah atau ruang tamu, dan kini peletakkan dan kepemilikannya sudah bebas, dapat dimiliki semua orang. 

Kamis, 03 November 2011

DOKAR ALON-ALON WATON KELAKON

Di samping Gazebo (pada gambar di sebelah kanan) yang terletak di komplek Rumah joglo Kino Ning Peni terdapat dokar lama atau dalam bahasa Indonesia disebut delman yang pernah beroperasi di daerah Kartosuro, Solo pada tahun 1960-an.

Delman merupakan alat transportasi tradisional yang kini banyak dijumpai di kota-kota kecil di banyak daerah di Indonesia adalah kereta beroda dua ditarik oleh seekor kuda. Jenis kendaraan serupa lainnya adalah andong yang memiliki empat roda yang ditarik oleh seekor atau dua ekor kuda yang untuk jenis ini banyak dijumpai di Yogyakarta dan Solo.

Nama delman berasal dari nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur di jaman Hindia Belanda. orang Belanda sendiri menyebutnya dengan nama dos-a-dos (punggung pada punggung, arti harfiah dalam bahasa Prancis) yaitu sejenis kereta yang posisi duduk penumpangnya saling memunggungi atau antara penumpang yang duduk di depan termasuk sais atau kusir pengendali kuda beradu punggung dengan yang duduk di belakangnya. Istilah dos-a-dos ini oleh penduduk pribumi Batavia mereka sebut menjadi "sado". (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Kendaraan ini hanya bisa melaju dengan kecepatan sekitar 15-20 Km per jam, sehingga banyak kaum muda terutama mengatakan bahwa jalannya dokar sesuai dengan ungkapan Jawa "älon-alon waton kelakon". Secara harfiah ungkapan ini berarti: pelan-pelan asalkan terlaksana atau jika diterapkan pada penumpang dokar ialah pelan-pelan asal selamat sampai di tujuan.


Dokar beroperasi di Hoogendorpstraat(1929), salah satu jalan di Kota Lama Semarang sekarang
Orang sekarang, terutama kaum muda, tidak sedikit yang mengartikan ungkapan ini sebagai sebuah nasehat yang sudah kedaluwarsa, ketinggalan jaman, kuno atau out of date. Sebagai alasan bahwa sekarang bukan zamannya lagi orang pelan-pelan, berlambat-lambat. Sebab, ketika kita bertindak pelan-pelan, orang lain sudah terlebih dahulu mendahului kita dan meraih hasil. Kita jadi ketinggalan. Kalau ingin mendapatkan yang diidam-idamkan orang harus bertindak cepat, agar tidak didahului oleh orang lain. Persaingan kini sudah semakin ketat sehingga dibutuhkan gerak cepat.

Penafsiran ini barangkali ada benarnya, namun tidak tepat atau tidak sepenuhnya benar dalam menafsirkannya. Sebab bukan itu yang ingin dinasehatkan dalam ungkapan "alon-alon waton kelakon". Nasehat yang ingin disampaikan oleh ungkapan ini ialah: jika ingin pekerjaan kita berhasil baik, hendaknya terencana, dilaksanakan dengan seksama, sungguh-sungguh dan hati-hati, tidak asal-asalan, tidak tergesa-gesa dan hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati. Pekerjaan yang dilakukan secara tergesa-gesa, tabrak sana tabrak sini, maka tidak berhasil baik atau tidak sempurna hasilnya.(St.S.Tartono, Pitutur Adi Luhur,hal. 51)

Rabu, 02 November 2011

KYAI LURAH SEMAR BADRANAYA

Di teras rumah joglo terdapat patung Semar yang merupakan produk kerajinan terakota (gerabah)dari Kasongan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul yang letaknya di selatan kota Yogyakarta. Seperti diketahui, Kasongan merupakan pusat kerajinan terakota (gerabah) yang sangat terkenal, bahkan sebagian produknya sejak dahulu sudah diekspor ke mancanegara. Patung tersebut meggambarkan Semar sedang mempersilakan para tamu masuk ke rumah joglo dengan ibu jari (jari jempol) tangan kanannya dan tangan kirinya diletakkan di bagian belakang tubuhnya, seperti kebiasaan orang-orang Jawa ketika mempersilakan tamunya masuk ke rumah yang dikunjungi.

Semar atau lengkapnya Kyai Lurah Semar Badranaya merupakan nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para ksatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabhrata dan Ramayana. Sudah barang tentu nama Semar tidak diketemukan dalam naskah asli kedua wiracitra tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Semar termasuk "jalma tan kena kinaya ngapa" yang artinya tidak terpikirkan atau misterius. Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebutkan tokoh ini merupakan penjelmaan dewa. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.(Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Kyai Lurah Semar yang sebenarnya dewa yang menjelma manusia di dunia yaitu "hyang Ismaya" atau "Hyang Asmarasanta" merupakan pamong keturunan Brahma dan Wisnu. Semar kelihatan buruk rupa, tetapi sebenarnya melebihi para dewa. Semar sebagai pamong melindungi alam semesta dan isinya serta melindungi para ksatria penegak kebenaran, keadilan dan kejujuran, dan penuh pengorbanan.



Panggung pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di jaman dahulu kala

Dalam pementasan pertunjukan pewayangan (wayang semalam suntuk), Semar selalu muncul sekitar pukul 01.00 dini hari, pada saat pertengahan lakon dalam bentuk goro-goro. Goro-goro dapat berarti keributan, kegemparan, kehebohan (Poerwadarminta, 1968: 289). Namun goro-goro dalam pertunjukan wayang kulit semalam suntuk merupakan pertanda peralihan situasi menuju inti lakon. Dalam pertunjukkan wayang semalam suntuk yang berlangsung selama 7 (tujuh) jam biasanya dimulai pukul 21.00 dan berakhir pukul 04.00 dini hari terdiri dari tiga patet, yaitu patet Nem, patet Songo dan patet Manyura. Patet Nem merupakan bagian awal pertunjukan, patet Songo merupakan bagian inti pertunjukan di mana pada saat inilah adegan goro-goro muncul dan terakhir patet Manyura merupakan bagian penutup pertunjukan. Ketiga patet ini dapat dianalogkan dengan siklus perkembangan kehidupan manusia, dimulai dari kelahiran kemudian dewasa dan akhirnya meninggal dunia. Goro-goro terjadi pada siklus kehidupan manusia menginjak dewasa. (Budaya Wayang "World Masterpiece" Media Berbagi Paguyuban Pecinta Wayang)